Tragedi Junior Tumilaar: Potret Ketidakberdayaan Rakyat
Jakarta, tangraya
Penahanan Brigjen TNI Junior Tumilaar oleh Denpom TNI-AD, dengan dalih yang bersangkutan melakukan kegiatan di luar kewenangan dan perintah pimpinan, merupakan cermin ketidak-berdayaan rakyat Indonesia di depan korporasi di negeri ini [1]. Bahkan, di saat jenderal bintang satu itu merintih meminta ampun dan mohon dievakuasi dari kerangkeng militer ke rumah sakit akibat ‘siksaan’ yang dideritanya, para punggawa di kesatuannya tak bergeming untuk sekedar memberikan secuil harapan bagi tentara asal Sulawesi Utara itu [2]. Miris memang. Tapi itulah Indonesia.
Setidaknya ada tiga pendekatan pemikiran yang bisa kita gunakan dalam menelaah fenomena yang sedang mendera Junior Tumilaar. Pertama, bahwa penguasaan tanah air beta di negeri ini oleh negara melalui tangan-tangan korporasi berbasis kapital mulai menunjukan hasilnya. Pada poin ini, sesungguhnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sudah mencapai sasarannya, khususnya pada frasa ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara’ [3].
Bagaimana tidak, rakyat yang diagung-agungkan sebagai pewaris dan pemilik negeri leluhur ini ternyata dikalahkan hanya oleh lembaran surat yang disebut sertifikat. Keberadaan mereka yang dikodratkan lahir dari rahim-rahim perempuan Indonesia tidak diakui sebagai pemilik tanah tempat darah ketubannya tertumpah menyatu dengan buminya. Mereka dengan mudah terusir seperti puing tersapu bandang oleh alat-alat berat para komprador korporasi yang dikawal aparat negara bertameng sertifikat yang dikeluarkan negara.
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang hakekatnya adalah penjabaran dari Alinea ke-4 Pembukaan UUD tersebut ternyata tidak mencapai maksud dan tujuannya. ‘Pembentukan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa’, hanyalah sebuah utopia belaka. Pasal 33 ayat (3) itu tidak lebih dari sekadar sebuah untaian kalimat indah penghibur rakyat yang sedang terkulai terkapar ditelan kekuasaan.
Berdasarkan kondisi faktual tersebut di atas, pertanyaan yang mestinya muncul adalah apa yang mesti dilakukan agar keadaan boleh kembali membaik? Salah satu jawabannya adalah penguatan kapasitas rakyat itu sendiri dalam mempertahankan hak pewarisannya atas negeri nusantara ini. Peningkatan kemampuan berpikir dan berargumentasi di atas landasan filosofis, sosiologis, dan hukum positif, menjadi hal yang mutlak, mendasar, dan bersifat sangat segera.
Kedua, bahwa Karakter Prajurit TNI Angkatan Darat sebagai pembela rakyat yang secara rinci tertuang dalam doktrin Delapan Wajib TNI semakin tergeser oleh perubahan paradigma yang dianut para borju militer Indonesia [4]. Jiwa konglomerasi di tubuh TNI yang muncul sejak tumbangnya orde lama, yang kemudian tumbuh subur di masa orde baru di bawah komando penguasa militer Jenderal Soeharto, lambat laun sukses menjauhkan para anggota TNI dari fitrahnya sebagai tentara rakyat.
Keberadaan para pengusaha yang terlipat-kelindan dengan penguasa telah menyeret TNI –termasuk Polri– kita ke dalam pragmatisme hidup materialistik yang hampir tidak ditemukan di negara-negara maju di dunia ini. Penguasaan lebih dari 70 persen sumber daya ekonomi oleh 10 persen penduduk Indonesia sesungguhnya merupakan kecelakaan pengelolaan pemerintahan negara yang cukup parah [5]. Dalam posisi 90 persen rakyat Indonesia memperebutkan 30 persen sumber daya di sekitarnya, mereka pun masih harus sibuk berhadapan dengan popor dan moncong senjata untuk dapat bertahan hidup.
Dari analisa singkat di atas, satu hal penting yang dapat dilakukan adalah melanjutkan proses reformasi di tubuh TNI yang diarahkan untuk benar-benar berfungsi sebagai tentara rakyat, bukan tentara para korporat. Terlepas dari berbagai aturan disiplin di internal TNI, yang diharapkan oleh masyarakat adalah kehadiran militer rakyat yang menjadi pelindung mereka, yang menyelamatkan hidup, dan yang menjadi pembela di saat mereka terkapar oleh goncangan zaman dan peradaban. Lain tidak.
Ketiga, bahwa _welfare state_ (negara kesejahteraan) yang dianut oleh konstitusi Indonesia hampir mustahil dapat diwujudkan jika kondisi seperti ini dibiarkan. Salah satu kendala utamanya adalah karena negara seakan tak berdaya dalam mengimbangi kekuatan internal dan eksternal yang menerpa bangsa ini. Banyak kalangan melihat bahwa ketidak-mampuan itu disebabkan oleh lemahnya kendali pemerintahan sipil Indonesia atas para borju pro kemapanan yang bercokol di institusi bersenjata seperti TNI dan Polri [6].
Masuknya para perwira tinggi TNI –juga Polri– ke dalam struktur korporasi sebagai dewan komisaris di perusahaan-perusahaan selepas dari masa dinasnya di institusi tersebut membawa dampak yang cukup serius bagi pelemahan kekuatan rakyat dalam mempertahankan hak-haknya. Ribuan purnawirawan yang masuk ke jajaran komisaris korporasi di seantero negeri ini, termasuk di BUMN [7], sedikit banyak telah berperan menjadikan korporasi yang ditunjang oleh keuangan yang maha besar untuk menjadi ‘monster’ bagi warga masyarakat di wilayah operasional perusahaan.
Pada kasus yang melibatkan Brigjen Junior Tumilaar misalnya, Jenderal kebanggaan masyarakat Sulawesi Utara itu terpanggil untuk membela bawahannya, seorang Babinsa, yang coba dikriminalisasi Polres Manado akibat sang Babinsa memberi pembelaan kepada rakyat di tempat tugasnya, Ari Tahiru (67), yang mempertahankan tanah warisannya dari caplokan korporasi PT. Ciputra Internasional [8]. Dalam kasus Ciputra versus Ari Tahiru di Manado ini, Junior Tumilaar masih beruntung karena isu yang muncul ke permukaan adalah persaingan dua kubu koersif (bersenjata): TNI versus Polri.
Lain Ciputra Manado lain Sentul City Bogor. Dalam kasus pembelaan Junior Tumilaar terhadap warga masyarakat Bojong Koneng, Bogor, yang mempertahankan lahannya dari serbuan perusahaan PT. Sentul City, perjuangan Junior Tumilaar harus berakhir di jeruji Denpom. Dugaan keterlibatan seorang oknum anggota TNI aktif dari kesatuan Badan Intelijen Strategis (BAIS), sebagaimana yang disebutkan Junior Tumilaar, dalam insiden di Bojong Koneng menjadi indikasi kuat bahwa perusahaan itu ‘mempekerjakan’ oknum militer dan di-back-up para preman dalam melancarkan usahanya [9].
Walau beda warga dan beda lokasi, namun kasus Manado dan Bogor memiliki sesamaan yang signifikan. Pertama, melibatkan korporasi berhadapan dengan warga masyarakat lemah. Kedua, obyek kasus sama-sama tentang sengketa lahan. Ketiga, keduanya mengharapkan pembelaan dari kekuatan-kekuatan tertentu, terutama dari pemegang otoritas dan kewenangan di wilayahnya. Keempat, hingga saat jenderal pembela mereka Junior Tumilaar mendekam di sel Denpom, kasusnya belum selesai, bahkan mungkin bertambah rumit.
Jika akhirnya sang Jenderal itu harus dibungkam mati tersebab membela warga, itulah potret ketidak-berdayaan rakyat Indonesia. Namun, ibarat pepatah ‘Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu’, maka keadaan itu harus dijawab dengan semboyan perjuangan ‘Hari ini seorang Patimura mati, esok ribuan Patimura, Diponegoro, Daan Mogot muda bangkit melawan!’.
By : Wilson Lalengke
(Red)